Lorem Ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry. Lorem Ipsum has been the industry's standard dummy text ever since the 1500s, when an unknown printer took a galley of type and scrambled it to make a type specimen book. It has survived not only five centuries, but also the leap into electronic typesetting, remaining essentially unchanged. It was popularised in the 1960s with the release of Letraset sheets containing Lorem Ipsum passages, and more recently with desktop publishing software like Aldus PageMaker including versions of Lorem Ipsum.

Kamis, 25 November 2010

lagu sherina

Andai aku t'lah dewasa
Apa yang 'kan kukatakan
Untukmu idolaku tersayang
Ayah... Oh...

Andai usiaku berubah
Kubalas cintamu bunda
Pelitaku, penerang jiwaku
Dalam setiap waktu

Oh... Kutahu kau berharap dalam doamu
Kutahu kau berjaga dalam langkahku
Kutahu s'lalu cinta dalam senyummu
Oh Tuhan, Kau kupinta bahagiakan mereka sepertiku

Andai aku t'lah dewasa
Ingin aku persembahkan
Semurni cintamu, setulus kasih sayangmu
Kau s'lalu kucinta

Andai usiaku berubah
Kubalas cintamu bunda
Pelitaku, penerang jiwaku
Dalam setiap waktu

Oh... Kutahu kau berharap dalam doamu
Kutahu kau berjaga dalam langkahku
Kutahu s'lalu cinta dalam senyummu
Oh Tuhan, Kau kupinta bahagiakan mereka sepertiku

Andai aku t'lah dewasa
Ingin aku persembahkan
Semurni cintamu, setulus kasih sayangmu
Kau s'lalu kucinta

Selasa, 23 November 2010

Lagu asik buwat buwat nulis


> Assalamu'alaikumwrwb.
> Teman, mungkin sedikit sharing ini bermanfaat. Kalau lagi gak mood
> nulis, biasanya saya perlu mendengar sesuatu utk menaikkan adrenalin
> atau untuk memunculkan moody.
>
> teman-teman mungkin bertanya, kok gak diiringi murottal Sudais atau Al
> Mathrud sih? Soalnya suami melarang ketika saya mendengarkan Quran,
> sembari aktif mengerjakan sesuatu yang terkesan mengabaikan. Jadi,
> saya dengar murottal kalau mau tidur atau pagi hari, sembari
> memperdengarkan kepada anak-anak.
>
> Di bawah ini daftar lagu/nasyid yang bisa membangkitkan moody saat
> menulis. Terbagi dua, yang menghentak dan yang metal (mellow total
> maksudnya...) Saya biasa mendengarkannya, pakai headset, wuah rasanya.
>
> Bersemangat :
> 1. Cita Pemuda – Shoutul Harakah
> 2. Al Ardhu Lana –Shoutul Harakah
> 3. Hasan Al Banna – Shoutul Harakah
> 4. Lirih Pembebas – Shoutul Harakah
> 5. Merah Saga – Shoutul Harakah (...hi...hi..ngefans ya?)
> 6. Kertarajasa (Sherina )
> 7. Bongkar – Iwan Fals
> 8. Laskar Pelangi - Nidji
> 9. On My Way – Phil Collins (soundtrack Brother Bear)
> 10. Look Through My Eyes (soundtrack Brother Bear)
> 11. I’II Make a Man Out of You ( soundtrack Mulan Disney)
>
> Mellow mendayu :
> 1. Kupinang Engkau dengan Al Quran ..( favorit buangeth)
> 2. Hasbi Rabbi – Sami Yusuf
> 3. The Creator – Sami Yusuf
> 4. Mother – Sami Yusuf
> 5. Sajadah Panjang – Bimbo
> 6. Rindu Rasul - Bimbo
> 7. Lihatlah dari Dekat (Sherina – soundtrack Petualangan Sherina)
> 8. Ibu – Iwan Fals
> 9. Heal the World (Michael Jackson)
> 10. The Greatest Love of All (Whitney Houston)
> 11. No Way Out (Phil Collins – Brother Bear)
> 12. Reflection (soundtrack Mulan)


diambil dari milis FLP

dari lampung post

Hihi Tak Takut Lagi
Oleh: Naqiyyah Syam, guru SDIT Way Jepara
DI sebuah hutan Angora, hiduplah dua ekor harimau. Kakaknya bernama Haha dan adiknya bernama Hihi. Mereka dua bersaudara yang saling menyayangi. Kedua harimau tersebut sudah tak memiliki kedua orang tua lagi. Mereka sangat mencintai hutan Angora. Mereka lahir dan dibesarkan di sana. Dulu, hutan Angora sangat subur dan makmur. Hewan-hewan hidup dengan sukacita karena tumbuhan tumbuh subur. Makanan berlimpah dan air mengalir deras. Kini, hutan Angora terancam punah. Banyak penebangan pohon secara liar dan pemburu hewan terjadi setiap harinya.
“Bagiamana Kak, hutan sudah semakin sepi, teman-teman kita sudah mengungsi,” ujar Hihi pada Haha, kakaknya.
“Tenanglah, kita akan menjaga hutan Angora ini. Tanah kelahiran kita,” jawab Haha.
“Tapi aku jadi kesepian. Teman-teman sudah jauh berjalan menuju hutan Ansana di balik bukit itu!” tunjuk Hihi sedih.
Tak jauh dari mereka berdiri terlihat kura-kura yang sedang berjalan lamban.
“Hei! Apa kalian tidak ikut mengungsi? Hutan ini sudah semakin sepi! Pemburu itu sudah semakin dekat!” sapa kura-kura.
“Iya, tapi kami akan tetap di sini!” jawab Haha tegas. Hihi hanya menunduk mengikuti kakaknya.
“Percuma kalian bertahan! Hutan sudah gundul dibabat habis para penebang liar. Teman-teman kita juga sudah banyak mati sia-sia karena diburu kulitnya. Rumah kita sudah tak aman lagi. Aku bahkan kehilangan semua anggota keluargaku, huhuhu....,” isak si Kur Kur, kura-kura yang menyapa mereka.
“Kami turut prihatin ya, kedua orang tua kami juga sudah tiada. Ditangkap pemburu-pemburu itu,” kata Hihi.
“Aku pergi dulu ya, kalian hati-hati. Kusarankan kalian segera mengungsi sebelum menyesal,” nasihat Kur Kur. Ia berjalan menuju hutan Aksana meninggalkan Haha dan Hihi.
Keesokan harinya terdengar suara bergemuruh! Pohon-pohon besar tumbang.
“Cepatlah kalian pergi mengungsi!” teriak Pit Pit, si burung pipit di atas mereka. Pipit sengaja terbang sedikit rendah.
“Kami tetap di sini saja,” Haha masih tetap dengan pendiriannya.
“Ah, kalian keras kepala!” ujar Pipit sedikit dongkol.
Hutan semakin sepi dan suara gemuruh kian terdengar. Tak lama kobaran api mulai terlihat jelas.
“Kak, pemburu dan penebang liar itu membakar hutan ini! Aku takut Kak!” Si Hihi merapat ke arah Haha. Api kian berkobar hingga mengelilingi mereka berdua. Dari jauh, Pak Tom Tom sedang mengamati kedua harimau itu dengan teropongnya.
“Hai, ternyata di sana masih ada dua ekor harimau yang sangat bagus kulitnya! Aku yakin mereka tak akan bisa bertahan lama. Api kian membesar dan akan membakar mereka, ha...ha...ha...” tawa Pak Tom Tom.
“Kak, lihat api telah mengepung kita!” teriak Hihi ketakutan.
“Aku akan melompat!” Kata Haha.
“Hah, tak mungkin! Api sudah semakin tinggi! Kita akan segera mati!” Wajah Hihi semakin pucat.
“Tapi kita belum berusaha meloncati kobaran api itu!” jawab Haha.
“Aku akan melompat dan kita akan berusaha mencari tempat yang lebih aman!” kata Haha.
Satu, dua, tiga, hap! Haha melompat dengan segenap tenaga.
“Hihi, ayo melompat!” teriak Haha setelah menemukan tempat yang aman. Api kian membara.
“Aku takut, Kak, biarlah aku mati saja!” Hihi mulai menangis.
“Kamu tidak boleh berkata begitu! Kamu harus berusaha! Jangan menyerah! Ayo cepat!,” kata Haha.
“Tidak! Aku takuuut!” Hihi menutup matanya. Api kian membesar. Tiba-tiba Haha melompat kembali ke arah Hihi. Kini keduanya berpelukan.
“Kamu harus kuat adikku, keluarkan segenap tenagamu! Ingatlah jika kau berusaha, kau akan berhasil! Yakinlah!”
“Tapi Kak,......,” Hihi masih ragu.
“Orang tua kita sangat pemberani, kau juga harus berani!”
“Baiklah Kak, aku akan mencoba!” Hihi mulai berani. Ia mengumpulkan segenap tenaganya. Dan, hup! Sekali saja lompatan, Hihi berhasil melompati api yang besar itu.
“Hore! Aku berhasil Kak!” teriak Hihi gembira. Tak lama, Haha pun melompat dengan tinggi menyusul Hihi. Kini keduanya sudah berada di tempat yang aman dari kobaran api. Mereka cukup lega, telah melawan rasa takut yang selama ini menyerang. Di kejauhan Pak Tom Tom tampak geram dan marah.
“Huh! Mereka berhasil lolos! Aku tak mengira mereka sangat berani melompat kobaran api itu! Sial!” umpat Pak Tom Tom.
“Sepertinya kita memang harus meninggalkan hutan Angora ini, Dik,” kata Haha sedih.
“Hutan ini sudah tak aman bagi kita. Tapi aku bangga melihatmu tadi melompat dengan gagah berani. Kini kau sudah tak takut lagi!” puji Haha.
“Iya Kak, aku mulai berani melompat dengan tinggi, semua karena kakak menyemangatiku. Baiklah Kak, kita segera berkemas dan menyusul teman-teman ke hutan Ansana. Semoga kita tidak kemalaman sampai di sanam,” ujar Hihi. Keduanya berjalan meninggalkan hutan Angora yang mulai terbakar akibat kekejian para pemburu dan penebangan liar. Walaupun tak berhasil menjaga hutan Angora seperti pesan kedua orang tuanya, Haha senang kini Hihi tak takut lagi!

Minggu, 21 November 2010

mengajar dengan hati


MENGEMBANGKAN PERILAKU MENGAJAR YANG HUMANIS
Oleh: Yuli Fajar Susetyo
Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta


A. Pengantar
Anak tidak saja membutuhkan perlakuan yang sesuai dengan perkembangan psikologisnya, namun juga mempunyai hak untuk dihormati, dilindungi, dimajukan dan dipenuhi hak-haknya. Pengertian “kebutuhan” menunjukan bahwa anak secara alamiah sebagai makhluk Tuhan membutuhkan perlakuan dan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan potensinya, sehingga tercerabutnya anak dari keadaan demikian berpotensi menghambat pencapaian kesejahteraan jiwa dan perkembangan yang optimal. Pengertian “hak” menunjukkan bahwa ada jaminan pemenuhan yang bersifat perlindungan, adanya pihak yang berperan dan terlibat sebagai aktor yang bertanggung jawab melaksanakan fungsi perlindungan tersebut, dan ketika tidak dipenuhi berarti telah terjadi pelanggaran hak.
Di sisi lain, berita di media massa menunjukkan bahwa lingkungan yang seharusnya kondusif untuk memenuhi dan melindungi kebutuhan dan hak anak tersebut ternyata belum steril dari perlakuan yang mengabaikan atau melanggar kebutuhan dan hak anak. Beberapa kasus kekerasan terhadap siswa oleh guru, kasus terpasungnya kebebasan anak, dan pemberian hukuman fisik dengan alasan pendidikan (kadang dianggap sebagai satu-satunya jalan padahal cara yang lain tidak ditempuh) masih menghiasi media massa. 
Menurut Rogers (dalam Palmer 2003), pendidikan menuntut perlunya perilaku guru yang menerima siswa sesuai potensinya, menciptakan hubungan yang saling percaya dan nyaman, dan membangun hubungan dialogis yang memberdayakan siswa untuk mencapai aktualisasi diri. Proses pembelajaran yang baik menurut Purkey & Novak (dalam Eggen & Kauchak, 1997) adalah proses yang mengundang siswa untuk melihat dirinya sebagai orang yang mampu dan  bernilai, mengarahkan  diri sendiri, dan pemberian semangat kepada mereka untuk berbuat sesuai dengan persepsi dirinya tersebut.
Uraian tersebut menunjukkan pentingnya menilai dan menerima anak secara positif,  membangun hubungan dan kepercayaan siswa, dan mengembangkan pembelajaran yang memberdayakan siswa untuk mencapai aktualisasi dirinya. Di sisi lain, keadaan yang sering kita jumpai justru seringkali menempatkan siswa dalam posisi tidak berarti, selalu salah, dan hubungan “guru benar dan siswa salah”.
Melihat keadaan tersebut maka diperlukan kemauan dan kemampuan guru dalam menggunakan pendekatan dan cara-cara yang humanis dalam pendidikan anak. Tulisan ini dikembangkan dari penelitian penulis tentang efektivitas pelatihan berpikir positif terhadap perilaku mengajar yang humanis pada guru SD di Yogyakarta, yang didanai oleh pemerintah kota Yogyakarta tahun 2004.. 

B.     Pendidikan Humanistik
Salah satu cara untuk mendeskripsikan pendidikan humanistik adalah dengan melihat apa yang terjadi di kelas. Kirchenbaum dalam (Roberts, 1975) melihat ada 5 dimensi yang dapat dijadikan jalan untuk menjadi kelas yang humanis.
a. Pilihan dan kendali diri
Dalam hidupnya siswa dihadapkan dengan proses menetapkan tujuan dan membuat keputusan. Pendidikan humanistik memfasilitasi  kemampuan tersebut dengan memberikan latihan mengambil keputusan terkait dengan tujuan sekolah maupun aktivitas harian. Siswa dapat dilatih melalui aktivitas kegiatan siswa dan belajar yang memungkinkannya memiliki pilihan dan kendali dalam merancang, menetapkan tujuan, memutuskan, dan mempertanggung jawabkan keputusan yang telah dibuatnya.
b. Memperhatikan minat dan perasaan siswa
Kelas menjadi humanis ketika kurikulum dan pembelajaran menunjukan perhatian pada minat dan perasaan siswa. Mengkaitkan materi pelajaran dengan minat, pengetahuan, dan pengalaman yang sudah dimiliki siswa dan meminta tanggapan siswa merupakan contoh aktivitas yang dinilai siswa memperhatikan minat mereka.
c. Manusia seutuhnya
Perlu perubahan orientasi pembelajaran dan penilaian dari orientasi aspek kognitif menuju ke arah perhatian, penghormatan, dan penghargaan terhadap siswa sebagai manusia seutuhnya. Integrasi ketrampilan berpikir dengan kecakapan hidup yang lain sangat penting agar lebih efektif menjadi individu.
d. Evaluasi diri
Pendidikan humanistik bergerak dari evaluasi yang dikontrol guru menuju evaluasi yang dilakukan oleh siswa. Siswa perlu difalitasi untuk memantau kemajuan belajarnya sendiri baik melalui tes atau umpan balik dari orang lain.
e.       Guru sebagai fasilitator
Guru perlu mengubah peran, yaitu berubah dari sebagai direktur belajar menjadi fasilitator atau penolong. Guru hendaknya lebih suportif daripada mengkritisi, lebih memahami daripada menilai, lebih real dan asli daripada berpura-pura. Jika keadaan tersebut dapat dilakukan maka akan berkembang hubungan menjadi resiprokal, yaitu guru sering menjadi pembelajar, dan siswa sering menolong dan mengajar juga.
Konsepsi diatas menunjukkan bahwa sebuah ruang kelas dapat menjadi humanistik atau bukan adalah bukan karena pernyataan. Melainkan dapat dinilai dari tingkat peran siswa dalam membuat pilihan, tingkat siswa merasa pendidikannya sesuai dengan perhatian mereka,  keseimbangan antara kognitif dan aspek kecakapan hidup lainnya,  tingkat evaluasi hasil belajar oleh diri sendiri, dan tingkat berfungsinya guru sebagai fasilitator. 

Borton (dalam Roberts, 1975) lebih lanjut menjelaskan beberapa karakteristik peran pendidik humanistik disamping perhatian terhadap perasaan siswa “disini dan kini”, yaitu :
  1. Guru memfasilitasi siswa mempelajari dirinya sendiri, memahami perasaan dan tindakan yang dilakukannya
  2. Guru mengenali harapan dan imajinasi siswa sebagai  bagian penting dari kehidupan siswa dan memfasilitas proses saling bertukar perasaan
  3. Guru memperhatikan bahasa ekspresi non verbal, seperti gesture dan suara. Melalui ekspresi non verbal ini beberapa keadaan perasaan dan sikap dikomunikasikan oleh siswa.
  4. Guru menggunakan permainan, improvisasi, dan bermain peran sebagai cara untuk menstimulasi perilaku yang dapat dipelajari dan diubah.
  5. Guru memfasilitas belajar dengan menunjukkan secara eksplisit tentang bagaimana prinsip-prinsip dasar dinamika kelompok sehingga siswa dapat lebih bertanggung jawab untuk mendukung belajar mereka.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk mengembangkan pendidikan yang humanis maka  diperlukan:
1.      Pendidikan yang menghargai dan mengembangkan segenap potensi manusia; tidak saja dimensi kognitif, namun juga kemampuan afektif, psikomotorik dan potensi unik lainnya. Siswa dihargai bukan karena ia seorang juara kelas melainkan karena ia mengandung potensi yang positif.
  1. Interaksi antara siswa dan guru yang resiprokal dan tulus
Tanpa hubungan yang saling percaya dan saling memahami maka pendidikan yang mengeksporasi segenap perasaan dan pengalaman siswa sulit untuk dilaksanakan.
  1. Proses pembelajaran yang mendorong terjadinya proses interaksi dalam kelompok dan memberikan kesempatan kepada siswa  untuk mengeksplorasi pengalaman, kebutuhan, perasaannya sendiri sekaligus belajar memahami orang
  2.  Pengembangan metode pembelajaran yang mampu menggerakkan setiap siswa untuk menyadari diri, mengubah perilaku, dan belajar dalam aktivitas kelompok melalui permainan, bermain peran dan metode belajar aktif lainnya.
  3.  Guru yang peduli, penuh perhatian, dan menerima siswa sesuai dengan tertinggi setiap insan.
  4. Mengembangkan sistem penilaian yang memungkinkan keterlibatan siswa misalnya dengan penilaian teman sebaya, dan siswa menilai kemajuan yang telah dicapai sendiri melalui evaluasi diri.

C. Perilaku mengajar yang humanis
Sebaik apapun konsep pendidikan, yang paling menentukan adalah bagaimana implementasi di lapangan. Sikap dan tindakan guru sebagai pelaksana pendidikan adalah tema yang perlu diperhatikan secara serius.
Perilaku mengajar yang humanis terkait dengan aliran Humanism, yaitu sebuah pendekatan psikologis yang menitikberatkan pada masalah-masalah kepentingan manusia, nilai-nilai, dan martabat manusia (Kartono & Gulo, 2000)
Berdasarkan uraian Prof. Dr. Djohar (dalam Alimi dan Zaidie, 1996), penulis menyimpulkan bahwa Perilaku yang humanis  adalah perilaku yang memanusiakan siswa dengan menghargai martabat dan memperlakukan sesuai dengan karakteristiknya masing-masing.
Menurut Rogers (dalam Palmer, 2003) dalam proses pendidikan dibutuhkan rasa hormat yang positif, empati, dan suasana yang harmonis/tulus, untuk mencapai perkembangan yang sehat sehingga tercapai aktualisasi diri
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka perilaku mengajar yang humanis, adalah tindakan guru baik bahasa verbal dan non verbal yang menghargai kapasitas siswa dan memperlakukan siswa dengan rasa hormat dan empati sesuai karakteristik masing-masing.
Carl Rogers menyatakan pentingnya penerimaan tanpa syarat, penghargaan dan hubungan yang nyaman antara terapis dan klien, hubungan dialogis yang memberdayakan klien untuk mencapai aktualisasi diri siswa (dalam Palmer, 2003). Implikasi ajaran tersebut dalam bidang pendidikan adalah perlunya perilaku guru yang menerima siswa sesuai potensinya, menciptakan hubungan yang saling percaya dan nyaman, hubungan dialogis yang memberdayakan siswa untuk mencapai aktualisasi diri.  Pengajaran yang baik adalah “proses yang mengundang siswa untuk melihat dirinya sebagai orang yang mampu, bernilai, dan mengarahkan diri sendiri, dan pemberian semangat kepada mereka untuk berbuat sesuai dengan persepsi dirinya tersebut” (Purkey & Novak, dalam Eggen & Kauchak, 1997).
Beberapa aktivitas mengajar yang berkaitan dengan pendekatan mengajar yang humanis adalah mengakui, menghargai dan menerima siswa apa adanya, tidak membodoh-bodohkan siswa, terbuka menerima pendapat dan pandangan siswa tanpa menilai atau mencela, terbuka untuk komunikasi dengan siswa, dan tidak hanya menghargai potensi akademik, memberi keamanan psikologis,  memberi pengalaman sukses kepada siswa; untuk aktivitas-aktivitas kreatif guru tidak banyak memberikan aturan,  menceritakan pengalaman, menulis cerita, menghargai usaha, imaginasi, fantasi dan inovasi siswa, stimulasi banyak buku bacaan, dan memberikan aktivitas brainstorming.

D.    Cara mengembangkan perilaku mengajar yang humanis
Perilaku yang humanis adalah tindakan yang dapat teramati, dilakukan guru di dalam kelas ketika berhadapan dengan siswanya. Perilaku adalah hasil interaksi antara komponen pikiran, emosi, dan lingkungan.
Burns (1988) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara emosi, pikiran dan perilaku. Emosi yang terbentuk oleh suatu peristiwa disebabkan oleh penilaian/pikiran terhadap peristiwa. Sebelum seseorang bertindak tehadap suatu peristiwa apapun maka individu harus memprosesnya dengan pikiran serta memberikan arti. Individu harus memahami apa yang sedang terjadi, sebelum dapat merasakan dan menentukan tindakan. Dengan demikian, kunci pertama dari emosi dan perilaku adalah bagaimana pikiran individu terhadap situasi.



Bagan 1. Hubungan Pikiran-Emosi-Perilaku







Peristiwa yang positif, netral, negatif
 


Perilaku anda : Sebagai akibat dari pikiran dan emosi
 



 


(Sumber : Burns, D. , 1988 hal. 21 dan 119)

            Berdasarkan model di atas penulis menemukan empat hal yang dapat dilakukan guru untuk mampu mengembangkan perilaku yang humanis ketika menghadapi siswa di ruang kelas.
1.      Mengenali penyebab perilaku
Perilaku seseorang adalah hasil interaksi antara komponen fisik, pikiran, emosi dan keadaan lingkungan. Namun, untuk memperkuat kontrol manusia terhadap perilakunya seseorang perlu mencari tahu penyebab internal baik fisik, pikiran dan emosi yang dialaminya. Seringkali seorang guru gagal bertindak yang terbaik baik karena fisik sedang lelah atau kurang sehat sehingga menggunakan cara yang keras atau hukuman untuk mengendalikan siswa. Tindakan yang kurang tepat juga dapat dihasilkan karena pandangan yang negatif tentang siswa, misalnya x adalah anak nakal maka tindakan netral pun dapat menjadi negatif karena pandangan kita tersebut. Penyebab lain adalah keadaan emosi yang tidak kondusif, misalnya sedang marah atau cemas karena ada tugas yang menumpuk atau kejadian di tempat lain yang belum tuntas. Secara kognitif, Burns  (1988) mengemukakan banyak hal dapat terjadi yang disebutnya distorsi kognitif, yaitu kecenderungan pikiran kita untuk mengalami kesalahan dan penyimpangan dalam menilai sesuatu. Penulis menggarisbawahi empat jenis distorsi yang cukup relevan dalam dunia pendidikan, yaitu: 
a.       Memberi cap : melukiskan siswa sebagai orang yang nakal atau dungu, kemudian mendaftar di dalam pikiran semua hal yang tidak disukai tentang orang tersebut (filter pikiran) dan mengabaikan semua kelebihan atau sisi positif atau sifat-sifat yang baik (mendiskualifikasikan yang positif). Contohnya: “Dia anak pemalas” (faktanya saat itu ia tidak mengerjakan Pekerjaan Rumah).
b.      Membaca pikiran : mereka-reka motif yang melatarbelakangi perilaku siswa, dan demi kepuasan sendiri menjelaskan mengapa siswa bertindak demikian. Justru yang terjadi adalah menyalahkannya saja. Contohnya: “Dia pasti tidak mengerjakan Pekerjaan Rumah sehingga tidak masuk kelas”.
c.       Pembesaran : membesar-besarkan pentingnya peristiwa negatif, sehingga intensitas reaksi emosional dapat meledak. Contohnya, “Gara-gara ia bertanya penjelasan ku menjadi kacau...” (yang terjadi adalah guru terpaksa berhenti sebentar untuk mengingat-ingat apa yang akan dikatakannya)
d.      Pernyataan “harus” dan “tidak seharusnya” : berpikir bahwa seharusnya siswa “tidak seperti itu”, atau berpikir siswa seharusnya “seperti itu” Menuntut siswa atau situasi berjalan seperti keinginan sendiri dan ketika tidak terjadi maka sebenarnya individu telah mencipatakan frustrasi bagi diri sendiri. Contohnya: “ia kan anak dosen... seharusnya kan.....”
Guru yang sering mengalami penilaian yang kurang tepat tersebut akan semakin sulit untuk menerima anak apa adanya, apalagi harus mengormati dan menghargai mereka. Perlakuan yang tidak semestinya mudah muncul antara lain berupa kata-kata yang kurang tepat, membedakan dari teman-temanya karena dianggap kurang pandai atau nakal dan akhirnya menyebabkan guru kehilangan harapan positif terhadap siswa atau memvonis bahwa siswa tersebut nakal atau kurang pandai.
Sebuah penelitian (dalam De Potter dkk., 2000) menunjukkan bahwa sikap dan perlakuan guru terhadap siswa cenderung dipengaruhi oleh pandangan guru terhadap siswa. Sebagai contoh ketika siswa memandang siswa bodoh maka siswa kurang diberi pengalaman yang menantang, kurang dihargai jawabannya, dan cenderung kurang diberi kesempatan untuk menjawab pertanyaan yang sulit.
Oleh karena itu, tidak berlebihan kalau  Caine & Caine (dalam DePorter, Reardon, & Singer-Nourie, 2000) menyatakan bahwa keyakinan guru akan potensi manusia dan kemampuan semua anak untuk belajar  dan berprestasi merupakan suatu hal yang harus diperhatikan.
2.      Mengatasi distorsi dalam penilaian
Ketika seorang guru menyadari dirinya telah mengalami distorsi atau kesalahan dalam menilai siswa maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah meyakinkan diri bahwa ia mampu mengendalikan hal tersebut. Kemampuan menilai secara tepat dapat dikembangkan dengan latihan. Beberapa teknik yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
a.       Mencari bukti
Teknik ini bertujuan memberikan pandangan lain tentang kejadian atau siswa dengan cara mencari bukti bahwa penilaian kita yang negatif adalah tidak benar. Misalnya,  ketika kita memberikan label pada siswa sebagai pemalas maka dengan cepat kita perlu mengembangkan bukti-bukti yang dapat menunjukkan bahwa ia bukan pemalas.
b.      Pernyataan yang direvisi
Teknik ini bertujuan untuk meminimalisir kecenderungan kita mengharuskan sesuatu terjadi pada siswa kita. Caranya adalah dengan memberikan argumen lain yang dapat menurunkan derajat keharusannya. Misalnya: “saya sudah mengajarnya dengan baik, seharusnya ia paham.
Ketika banyak siswa yang belum paham maka kita perlu merevisi menjadi “saya memang sudah mengajar dengan baik namun mungkin ia perlu waktu untuk memahaminya”
c.       Pernyatan tidak menilai
Teknik ini dilakukan dengan cara meembuat pernyataan yang bersifat deskriptif, apa adanya, dan menghindari kata sifat seperti malas dan nakal. Contoh:  ketika ada siswa yang kita cap atau kita pikiran sebagai anak yang tidak tahu aturan. Pikiran atau pernyataan tidak tahu aturan adalah cap yang negatif tentang siswa. Hal ini akan menimbulkan asosiasi dengan sifat negatif lainnya, dan menimbulkan emosi negatif kita kepada siswa. Pernyataan yang lebih netral perlu dikembangkan,  misalnya yang kita sebut “tidak tahu aturan” ternyata lewat di depan guru sambil lari. Lebih baik kita menyebutkan perilakunya yaitu “kok di depan guru lari”. Sebutan ini lebih netral daripada menyebutnya tidak tahu aturan.
d.      Mencari sisi positif
Manusia bersifat kompleks. Tidak ada manusia yang 100% buruk atau 100% baik. Oleh karena itu ketika terjadi penilaian yang negatif misalnya anak ini telat mikir maka kita dapat mencari sisi positif yang lain misalnya usaha kerasnya untuk memahami, kerapiannya, atau sisi positif yang lain.
3.      Mengembangkan cara pandang yang positif terhadap siswa
Setiap siswa mempunyai potensi yang kadang tidak dapat terungkap,  tidak diterima dan tidak dihargai dalam proses pendidikan. Cara pandang yang positif dapat dikembangkan jika guru 1) tetap mempertahankan harapan positif terhadap siswa, yaitu seperti apapun keadaan siswa hari ini tidak berarti selamanya akan seperti itu dan tugas kita adalah berusaha untuk membantunya, 2) melihat potensi siswa dari berbagai sisi misalnya dapat menggunakan pandangan kecerdasan majemuk (Gardner dalam Amstrong, 2005), 3 meyakini prinsip perkembangan bahwa setiap siswa dapat berbeda dan bersifat unik sehingga mungkin belum optimal saat ini, dan 3) berusaha mencari sisi positif siswa.
4.      Membangun hubungan yang apresiatif
Hubungan guru dan siswa adalah penting dalam proses pembelajaran humanistik. Hubungan guru dan siswa bukanlah hubungan yang kering dari aspek emosi. Namun, kadang hubungan tersebut sebatas “Anda belajar dan Saya mengajar”, atau jika ada hubungan personal maka terbatas pada beberapa siswa tertentu. Mungkinkah hubungan personal yang mendalam tersebut dapat terjalin dalam kelas?
Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan komunikasi apresiatif. Komunikasi apresiatif dapat dilakukan dalam setiap interaksi antar guru siswa, dan antar siswa. Komunikasi apresiatif merujuk pada istilah appreciative inquiry yang dikembangkan oleh Psikologi Positif. Percakapan apresiatif dilakukan untuk  memahami sesuatu yang terbaik dari individu, memberikan dukungan terhadap kelebihan, kesuksesan, dan potensi masa lalu dan masa kini. Selama ini, komunikasi yang terjadi kadang cenderung tidak apresiatif. Contoh: kita lebih peka terhadap kesalahan orang daripada kebaikan orang, kita lebih cepat menunjuk kesalahan orang daripada kebaikan orang dst. Oleh karena itu, komunikasi yang terjalin perlu dikembangkan adalah komunikasi yang mengandung pesan dan gaya yang apresiatif.
Perbandingan komunikasi yang apresiatif dan tidak apresiatif dipaparkan pada tabel di bawah ini.




Komunikasi Verbal Tidak Apresiatif
Komunikasi Verbal Apresiatif
·         Kenapa engkau sekarang menjadi malas belajar?
      Ingatlah, peristiwa yang paling membanggakan mu saat SMP?
·         Apa jadinya kalau engkau malas seperti ini terus?
      Apa yang engkau inginkan setelah lulus SMA nanti?
·         Coba cari jalan, bagaimana  supaya kamu tidak malas belajar?
·         Strategi apa saja yang sudah engkau pikirkan untuk sukses belajar?

Komunikasi yang memfasilitasi siswa berpikir tentang keadaan dirinya yang sekarang, berusaha mencari sisi positif dirinya, menyadarkan tentang tujuan siswa, dan menyadarkan siswa tentang tindakan apa saja yang akan dilakukannya untuk mencapai cita-cita akan membangun hubungan yang saling menguatkan antar siswa dan guru.

5.      Mengembangkan model pembelajaran yang tepat
Begitu banyak metode pembelajaran yang dapat dipertimbangkan untuk mencapai kelas yang lebih humanis. Mulkan (2002) telah menyadur buku “Humanizing The Class Room; Models of Teching in Affective Education yang ditulis oleh John P. Miller. Dalam buku saduran tersebut, Mulkan menjelaskan tentang 17 model pembelajaran pengembangan kepribadian dalam pendidikan berbasis kelas. Tujuah belas model tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu 1) model pembelajaran pengembangan diri, 2) model pembelajaran konsep diri, 3) model pembelajaran kepekaan sosial, dan 4) model perluasan kesadaran.
Semua model yang dibahas dalam buku tersebut berusaha mengembangkan manusia seutuhnya yaitu dari dimensi kognitif, afektif dan kepribadian, dan psikomotorik (tertentu). Guru dapat memilih model yang tepat untuk dapat diterapkan di kelasnya masing-masing.

D. Penutup
Di akhir tulisan ini, penulis kembali menekankan bahwa: ruang kelas dapat menjadi humanis atau tidak humanis bukanlah berdasarkan label yang diberikan oleh pemerintah atau siapa saja, melainkan dapat dilihat dari proses yang terjadi di kelas sebagai hasil dari interaksi antara guru siswa dan antar siswa. Penulis telah memaparkan tentang konsep pendidikan humanistik dan cara mengembangkan diri menjadi guru yang humanis. Guru menjadi humanis atau tidak humanis bukanlah berdasarkan label yang diberikan oleh pihak luar, melainkan dilihat dari: 1)  usaha yang dilakukan guru untuk mengarahkan dirinya memenuhi karakteristik guru yang humanis, 2) kemampuan guru  mengembangkan kelas yang humanis melalui hubungan yang apresiatif, tindakan guru yang humanis, dan proses pembelajaran yang menerapkan model pembelajaran yang tepat.

Daftar pustaka
Alimi, A.S. dan Zaidie, M.F. 1999. Reformasi Dan Masa Depan Pendidikan Di Indonesia. Sebuah Rekonstruksi Pemikiran Prof. Dr. Djohar, MS. Yogyakarta : IKIP Yogyakarta
Armstrong T. 2003. Sekolah Para Juara. Menerapkan Multiple Intelligences di Dunia Pendidikan (diterjemahkan oleh Yudi Murtanto). Bandung: Penerbit Kaifa.
Burns, D.D., 1988. Terapi Kognitif. Pendekatan Baru Bagi Penanganan depresi. Penerbit Erlangga. Jakarta
DePorter, B., Reardon M., & Singer-Nourie, S. 2000. Quantum Teaching. Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-Ruang Kelas (terjemahan : Ary Nilandari). Bandung : Penerbit Kaifa
Eggen, P. & Kauchak, D. 1997. Educational Psychology, Windows on Classroom. Third Edition. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Kartono, K. dan Gulo, D. 2000. Kamus Psikologi. Bandung : CV. Pioner Jaya
Palmer, J.A.  (editor). 2003. 50 Pemikir Pendidikan. Dari Piaget Sampai Masa Sekarang.  (terjemahan : Farid Assifa). Yogyakarta : Penerbit Jendela
Miller, J.P.  2002. Cerdas di Kelas Sekolah Kepribadian. Rangkuman Model Pengembagan Kepribadian dalam Pendidikan Berbasis Kelas (disadur oleh Abdul Munir Mulkhan dari Humanizing the class Room oleh John. P. Miller). Yogyakarta : Kreasi Wacana   
Roberts, T.B. 1975. Four Psychologies Applied to Education. New York : Schenkman Publishing Company Halsted Press Division John Wiley and Sons
Susetyo, Y.F. 2004. Efektivitas Pelatihan Berpikir Positif untuk Mengembangkan Perilaku Mengajar yang Humanis pada Guru sekolah dasar di Yogyakarta. Laporan penelitian. Tidak diterbitkan. Jaringan penelitian pemerintah daerah Kota Yogyakarta.
Suwarno, Suparno P., dan Rahmanto B. (editor). 1998. Pendidikan Sains Yang Humanistis.Yogyakarta : Penerbit Kanisius


methode mengajar

. Metode Ceramah
Metode ceramah adalah metode memberikan uraian atau penjelasan kepada sejumlah murid pada waktu dan tempat tertentu. Dengan kata lain metode ini adalah sebuah metode mengajar dengan menyampaikan informasi dan pengetahuan secara lisan kepada sejumlah siswa yang pada umumnya mengikuti secara pasif.
Metode ini disebut juga dengan metode kuliah atau metode pidato.
Kekurangan metode ini adalah
1) Guru lebih aktif sedangkan murid pasif karena perhatian hanya terpusat pada guru saja.
2) Murid seakan diharuskan mengikuti segala apa yang disampaikan oleh guru, meskipun murid ada yang bersifat kritis karena guru dianggap selalu benar
Untuk bidang studi agama, metode ceramah ini masih tepat untuk dilaksanakan. Misalnya, untuk materi pelajaran akidah.
2. Metode Diskusi
Metode diskusi adalah suatu cara mengajar dengan cara memecahkan masalah yang dihadapi, baik dua orang atau lebih yang masing-masing mengajukan argumentasinya untuk memperkuat pendapatnya.
Tujuan metode ini adalah
1) Memotivasi atau memberi stimulasi kepada siswa agar berfikir kritis, mengeluarkan pendapatnya, serta menyumbangkan pikiran-pikirannya.
2) Mengambil suatu jawaban actual atau satu rangkaian jawaban yang didasarkan atas pertimbangan yang saksama
Macam-macam diskusi yaitu
1) Diskusi informal
2) Diskusi formal
3) Diskusi panel
4) Diskusi simpusium

Sabtu, 20 November 2010

profesi guru

Dalam manajemen sumber daya manusia, menjadi profesional adalah tuntutan jabatan, pekerjaan ataupun profesi. Ada satu hal penting yang menjadi aspek bagi sebuah profesi, yaitu sikap profesional dan kualitas kerja. Profesional (dari bahasa Inggris) berarti ahli, pakar, mumpuni dalam bidang yang digeluti.

Menjadi profesional, berarti menjadi ahli dalam bidangnya. Dan seorang ahli, tentunya berkualitas dalam melaksanakan pekerjaannya. Akan tetapi tidak semua Ahli dapat menjadi berkualitas. Karena menjadi berkualitas bukan hanya persoalan ahli, tetapi juga menyangkut persoalan integritas dan personaliti. Dalam perspektif pengembangan sumber daya manusia, menjadi profesional adalah satu kesatuan antara konsep personaliti dan integritas yang dipadupadankan dengan skil atau keahliannya.

Menjadi profesional adalah tuntutan setiap profesi, seperti dokter, insinyur, pilot, ataupun profesi yang telah familiar ditengah masyarakat. Akan tetapi guru...? Sudahkan menjadi profesi dengan kriteria diatas. Guru jelas sebuah profesi. Akan tetapi sudahkah ada sebuah profesi yang profesional...? Minimal menjadi guru harus memiliki keahlian tertentu dan distandarkan secara kode keprofesian. Apabila keahlian tersebut tidak dimiliki, maka tidak dapat disebut guru. Artinya tidak sembarangan orang bisa menjadi guru.

Namun pada kenyataanya, banyak ditemui menjadi guru seperti pilihan profesi terakhir. Kurang bonafide, kalau sudah mentok tidak ada pekerjaan lain atau sebuah status sosial yang lekat dengan kemarginalan, gaji kecil, tidak sejahtera malah dibawah garis kemisikinan. Bahkan guru ada yang dipilih asal comot yang penting ada yang mengajar. Padahal guru adalah operator sebuah kurikulum pendidikan.Ujung tombak pejuang pengentas kebodohan. Bahkan guru adalah mata rantai dan pilar peradaban dan benang merah bagi proses perubahan dan kemajuan suatu masyarakat atau bangsa.

Mengingat guru adalah profesi yang sangat idealis, pertanyaannya adakah guru profesional itu...? Dan bagaimana melahirkan sosok guru yang profesional tersebut...?

Guru Profesional
Kalau mengacu pada konsep di atas, menjadi profesional adalah meramu kualitas dengan intergiritas, menjadi guru pforesional adalah keniscayaan. Namun demikian, profesi guru juga sangat lekat dengan peran yang psikologis, humannis bahkan identik dengan citra kemanusiaan. Karena ibarat sebuah laboratorium, seorang guru seperti ilmuwan yang sedang bereksperimen terhadap nasib anak manusia dan juga suatu bangsa.Ada beberapa kriteria untuk menjadi guru profesional.
Memiliki skill/keahlian dalam mendidik atau mengajar
Menjadi guru mungkin semua orang bisa. Tetapi menjadi guru yang memiliki keahlian dalam mendidikan atau mengajar perlu pendidikan, pelatihan dan jam terbang yang memadai. Dalam kontek diatas, untuk menjadi guru seperti yang dimaksud standar minimal yang harus dimiliki adalah:
  • Memiliki kemampuan intelektual yang memadai
  • Kemampuan memahami visi dan misi pendidikan
  • Keahlian mentrasfer ilmu pengetahuan atau  metodelogi pembelajaran
  • Memahami konsep perkembangan anak/psikologi perkembangan
  • Kemampuan mengorganisir dan problem solving
  • Kreatif dan memiliki seni dalam mendidik
Personaliti Guru
Profesi guru sangat identik dengan peran mendidik seperti membimbing, membina, mengasuh ataupun mengajar. Ibarat sebuah contoh lukisan yang akan ditiru oleh anak didiknya. Baik buruk hasil lukisan tersebut tergantung dari contonya. Guru (digugu dan ditiru)  otomatis menjadi teladan. Melihat peran tersebut, sudah menjadi kemutlakan bahwa guru harus memiliki integritas dan personaliti yang baik dan benar. Hal ini sangat mendasar, karena tugas guru bukan hanya mengajar (transfer knowledge)  tetapi juga menanamkan nilai - nilai dasar dari bangun karakter atau akhlak anak.

Memposisikan profesi guru sebagai  The High Class Profesi
Di negeri ini sudah menjadi realitas umum  guru bukan menjadi profesi yang berkelas baik secara sosial maupun ekonomi. Hal yang biasa, apabila menjadi Teller di sebuah Bank, lebih terlihat high class dibandingkan guru. jika ingin menposisikan profesi guru setara dengan profesi lainnya,  mulai di blow up bahwa profesi guru strata atau derajat yang tinggi dan dihormati dalam masyarakat. Karena mengingat begitu fundamental peran guru bagi proses perubahan dan perbaikan di masyarakat.

Mungkin kita perlu berguru dari sebuah negara yang pernah porak poranda akibat perang. Namun kini telah menjelma menjadi negara maju yang memiliki tingkat kemajuan ekonomi dan teknologi yang sangat tinggi. Jepang merupakan contoh bijak untuk kita tiru. Setelah Jepang kalah dalam perang dunia kedua,  dengan dibom atom dua kota besarnya, Hirohima dan Nagasaki, Jepang menghadapi masa krisis dan kritis kehidupan berbangsa dan bernegara yang sangat parah. Namun ditengah kehancuran akibat perang, ditengah ribuan orang tewas dan porandanya infrastruktur negaranya, Jepang berpikir cerdas untuk memulai dan keluar dari kehancuran perang. Jepang hanya butuh satu keyakinan, untuk bangkit. Berapa guru yang masih hidup...?

Hasilnya setelah berpuluh tahun berikut, semua orang terkesima dengan kemajuan yang dicapai Jepang. Dan tidak bisa dipungkiri, semua perubahan dan kemajuan yang dicapai, ada dibalik sosok Guru yang begitu dihormati dinegeri tersebut.

Kini, lihatlah Indonesia, negara yang sangat kurang respek dengan posisi guru. Negara yang kurang peduli dengan nasib guru. Kini lihatlah hasilnya. Apabila mengacu pada Human Index Development (HDI), Indonesia menjadi negara dengan kualias SDM yang memprihatinkan. Berdasarkan HDI tahun 2007,  Indonesia berada diperingkat 107 dunia dari 177 negara. Bila dibandingkan dengan negara sekitar, tingkat HDI Indonesia jauh tertinggal.Contoh Malaysia berada diperingkat 63,  Thailand 78, dan Singapura 25. Indonesia hanya lebih baik dari Papua Nugini dan Timor Leste yang berada diposisi 145 dan 150.

HDI merupakan potret tahunan untuk melihat perkembangan manusia di suatu negara. HDI adalah kumpulan penilaian dari 3 kategori, yakni kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Menjadi jelaslah bahwa, sudah saatnya Indonesia menjadikan sektor pendidikan sebagai prioritas utama dalam program pembangunan. Apabilah hal ini tidak dibenahi, bukan hal mustahil daya saing dan kualitas manusia Indonesia akan lebih rendah dari negara yang baru saja merdeka seperti Vietnam atau Timor Leste.

Program Profesionalisme Guru
  • Pola rekruitmen yang berstandar dan selektif
  • Pelatihan yang terpadu, berjenjang dan berkesinambungan (long life eduction)
  • Penyetaraan pendidikan dan membuat standarisasi mimimum pendidikan
  • Pengembangan diri dan motivasi riset
  • Pengayaan kreatifitas untuk menjadi guru karya (Guru yang bisa menjadi guru)
Peran Manajeman Sekolah
  • Fasilitator program Pelatihan dan Pengembangan profesi
  • Menciptakan jenjang karir yang fair dan terbuka
  • Membangun manajemen dan sistem ketenagaan yang baku
  • Membangun sistem kesejahteraan guru berbasis prestasi
(for : yang menghabiskan sisa waktunya untuk pendidikan)
by desi reminsa

Guru (dari Sanskerta: गुरू yang berarti guru, tetapi arti secara harfiahnya adalah "berat") adalah seorang pengajar suatu ilmu. Dalam bahasa Indonesia, guru umumnya merujuk pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik.
Guru adalah pendidik dan pengajar pada pendidikan anak usia dini jalur sekolah atau pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru-guru seperti ini harus mempunyai semacam kualifikasi formal. Dalam definisi yang lebih luas, setiap orang yang mengajarkan suatu hal yang baru dapat juga dianggap seorang guru

10 ciri guru profesional

1. Selalu punya energi untuk siswanya
Seorang guru yang baik menaruh perhatian pada siswa di setiap percakapan atau diskusi dengan mereka. Guru yang baik juga punya kemampuam mendengar dengan seksama.
2. Punya tujuan jelas untuk Pelajaran
Seorang guru yang baik menetapkan tujuan yang jelas untuk setiap pelajaran dan bekerja untuk memenuhi tujuan tertentu dalam setiap kelas.
3. Punya keterampilan mendisiplinkan yang efektif
Seorang guru yang baik memiliki keterampilan disiplin yang efektif sehingga bisa  mempromosikan perubahan perilaku positif di dalam kelas.
4. Punya keterampilan manajemen kelas yang baik
Seorang guru yang baik memiliki keterampilan manajemen kelas yang baik dan dapat memastikan perilaku siswa yang baik, saat siswa belajar dan bekerja sama secara efektif,  membiasakan menanamkan rasa hormat kepada seluruh komponen didalam kelas.

5. Bisa berkomunikasi dengan Baik Orang Tua
Seorang guru yang baik menjaga komunikasi terbuka dengan orang tua dan membuat mereka selalu update informasi tentang apa yang sedang terjadi di dalam kelas dalam hal kurikulum, disiplin, dan isu lainnya. Mereka membuat diri mereka selalu bersedia memenuhi  panggilan telepon, rapat, email dan sekarang, twitter.
6. Punya harapan yang tinggi pada siswa nya
Seorang guru yang baik memiliki harapan yang tinggi dari siswa dan mendorong semua siswa dikelasnya untuk selalu bekerja dan mengerahkan potensi terbaik mereka.
7. Pengetahuan tentang Kurikulum
Seorang guru yang baik memiliki pengetahuan mendalam tentang kurikulum sekolah dan standar-standar lainnya. Mereka dengan sekuat tenaga  memastikan pengajaran mereka memenuhi standar-standar itu.
8. Pengetahuan tentang subyek yang diajarkan
Hal ini mungkin sudah jelas, tetapi kadang-kadang diabaikan. Seorang guru yang baik memiliki pengetahuan yang luar biasa dan antusiasme untuk subyek yang mereka ajarkan. Mereka siap untuk menjawab pertanyaan dan menyimpan bahan menarik bagi para siswa, bahkan bekerja sama dengan bidang studi lain demi pembelajaran yang kolaboratif.
9. Selalu memberikan yang terbaik  untuk Anak-anak dan proses Pengajaran
Seorang guru yang baik bergairah mengajar dan bekerja dengan anak-anak. Mereka gembira bisa mempengaruhi siswa dalam kehidupan  mereka dan memahami dampak atau pengaruh yang mereka miliki dalam kehidupan siswanya, sekarang dan nanti ketika siswanya sudah beranjak dewasa.
10. Punya hubungan yang berkualitas dengan Siswa
Seorang guru yang baik mengembangkan hubungan yang kuat dan saling hormat menghormati dengan siswa dan membangun hubungan yang dapat dipercaya.

http://gurukreatif.wordpress.com/2009/11/06/10-ciri-guru-profesional/